Minggu, 25 Mei 2008

UU TENTANG PERS

UU RI No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan:
1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
2. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
3. Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
4. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
5. Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
6. Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.
7. Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers asing.
8. Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
9. Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
10. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
11. Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
12. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik *9980 tentang dirinya maupun tentang orang lain.
13. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
14. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.

BAB II
ASAS, FUNGSI, HAK, KEWAJIBAN DAN PERANAN PERS

Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Pasal 3
(1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
(2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

Pasal 4

(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Pasal 5

(1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
(2) Pers wajib melayani Hak Jawab.
(3) Pers wajib melayani Hak Koreksi.

Pasal 6

Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal *9981 yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

BAB III
Wartawan

Pasal 7
(1) Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.
(2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

Pasal 8

Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.

BAB IV
PERUSAHAAN PERS

Pasal 9
(1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
(2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.

Pasal 10

Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.

Pasal 11

Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.

Pasal 12

Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.

Pasal 13
Perusahaan pers dilarang memuat iklan:
a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.

Pasal 14

Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara Indonesia dan negara dapat mendirikan kantor berita.

BAB V
DEWAN PERS

Pasal 15
(1) Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
(2) Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
a. melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
b. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
e. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
f. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
g. mendata perusahaan pers.
(3) Anggota Dewan Pers terdiri dari:
a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.
(5) Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(6) Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.
(7) Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari:
a. organisasi pers; b. perusahaan pers; c. bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.

BAB VI
PERS ASING

Pasal 16
Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 17
(1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers; b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.

BAB VIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 18
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 19
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
(2) Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku:
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2815 ) yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3235);
2. Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap *9984 Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala; dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 21

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan menempatnya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Jumat, 23 Mei 2008

TIPS MEMPERKENALKAN BLOG

Jika kita sudah mempunyai blog baru, tentu saja kita ingin teman-teman kita mengetahuinya berkunjung ke web kita. Nah, kalo gak pernah dipublikasikan/diperkenalkan, tentu saja teman-teman kita tidak akan tahu kalau kita punya blog.

Bagaimana langkah awal kita untuk mempublikasikan blog? Dengan mengirim message ke semua teman kita? Bisa-bisa malah kita dianggap spammer. Jadi kita perlu cara-cara yang ’sopan’ :) Antara lain adalah sebagai berikut.

1. Kita pasti punya email kan? Sering/pernah kirim2 email juga tentu. Atau malah join di mailing-list. Nah, secara halus kita bisa ngasitau alamat blog kita ke si penerima email tersebut. Caranya, dengan menambahkan alamat blog sebagai signature/footer saat menulis email.
Misal:

Salam Hangat,

Fany Ariasari
http://blog.faniez.net

2. Friendster (atau Multiply atau layanan sejenis) punya juga kan? Di bagian About (di Profile kita), jangan lupa tuliskan juga alamat blog kita. Lalu jika sedang berkirim-kirim message, jangan lupa tambahkan signature seperti poin 1 di atas.

3. Suka online via Yahoo Messenger? (atau GoogleTalk dan sebagainya). Saat sedang online, tulis status kita dengan menyertakan link ke blog kita. Teman yang melihat akan langsung bisa nge-klik alamat tersebut di status YM. Jadi tidak perlu mengirim message ke seluruh teman chat kita.
Misal status:

Kunjungi weblog-ku http://namablogmu.blogspot.com

4. Bergabunglah dengan situs komunitas blogger, seperti yang sudah ditulis ini. Bisa nambah temen, bisa minta diajarin sama yang lebih jago, gak ketinggalan berita, dan yang pasti dgn semakin bertambahnya teman blogger kita maka otomatis akan menambah pengunjung blog kita ;)

5. Jika langkah-langkah awal sudah dicoba, kita juga bisa mendaftar di direktori kumpulan blogger. Misal:

  • www.kampungblog.com
  • www.blog-indonesia.com
  • www.technorati.com

6. Blogwalking-lah dan saling menyapa atau pun berkomentar di blog lain, jangan lupa dengan meninggalkan ‘jejak’ (alamat blog).

Catatan: rajin-rajinlah mengupdate blog, setidaknya seminggu sekali. Jika blog kita jarang di-update, pengunjung yang sudah datang akan kecewa karena tidak menemukan tulisan baru, dan selanjutnya jadi malas berkunjung lagi.

Selamat mencoba ;)

Jumat, 16 Mei 2008

HAMBATAN KOMUNIKASI


Hambatan-Hambatan Komunikasi

Dalam praktek berkomunikasi biasanya seseorang akan menemui berbagai macam hambatan yang jika tidak dapat ditanggapi dan disikapi secara tepat akan membuat proses komunikasi yang terjadi menjadi sia-sia karena pesan tidak tersampaikan atau yang sering terjadi adalah terjadinya penyimpangan. Adapun hal-hal yang sering terjadi adalah karena ketidakmampuan seorang penyampai pesan dalam:
  • Berkomunikasi sesuai tingkatan bahasa para pendengarnya.
    Seorang pedagang makanan yang hanya lulusan SMP tentunya akan kesulitan mengerti pembicaraan seorang sarjana teknik yang berbicara menggunakan istilah-istilah tekniknya.
  • Mengerti keinginan arah pembicaraan dari para pendengarnya.
    Sekelompok remaja SMA tentunya wajar jika tidak tertarik pada pembicaraan mengenai permasalahan bagaimana merawat dan mendidik balita yang disampaikan seorang ibu rumah tangga.
  • Mengerti kelas sosial para pendengarnya.
    Sekelompok petani didesa tentunya tidak mengerti dan tidak tertarik pada pembicaraan seorang pialang mengenai perdagangan saham.
  • Memahami latar belakang serta nilai-nilai yang dipegang teguh para pendengarnya.
    Seorang ahli presentasipun akan sangat kesulitan menembus dan merubah "kekebalan" (kekeras-kepalaan) pendapat seorang individu apalagi kelompok masyarakat yang mengkonsumsi makanan pokok nasi menjadi gandum, kentang atau lainnya walaupun didukung "bukti-bukti dan alasan yang kuat dan benar".
"Adalah pendengar yang menentukan bagaimana sebaiknya sebuah pesan dimengerti".

Bagaimana dan seperti apa sudut maupun cara pandang seseorang terhadap apa yang didengar, dilihat atau dimengerti sangatlah di bentuk oleh latar belakang dan pengalaman pribadi perorangan.

Oleh karena itu dalam berkomunikasi apalagi mengenai masalah Tao, adalah sangat bijak jika seorang Taoyu-pun dapat mengkomunikasikan Tao-nya dengan baik (benar dan tepat) dengan fleksibilas yang tinggi (kemampuan yang sangat luwes) sesuai takaran-takarannya secara proporsional (sesuai pada orang lain dan sesuai diri sendiri).

Demikian pembahasan masalah berkomunikasi ini secara singkat. Semoga apa yang disampaikan dapat bermanfaat bagi semuanya. Tentunya masih banyak lagi, hal mengenai permasalahan komunikasi yang dapat dibahas pada kesempatan yang lain.


Dunia semakin cepat berubah, dalam dua dasawarsa terakhir perkembangan teknologi sudah demikian pesatnya memberikan dampaknya yang menyentuh segala aspek kehidupan manusia. Salah satu hal yang berkembang sangat pesat dan menjadi pemicu dari perkembangan yang ada adalah komunikasi.

Nah, dalam perkembangan terakhir dimana dunia informasi menjadi sangat penting dalam aspek kehidupan, maka komunikasipun akhirnya tidak dapat ditawar lagi dan menjadi bagian yang sangat penting dalam melengkapi kehidupan manusia.

Metode, fasilitas dan perangkatnya pun sudah berkembang maju sedemikian modernnya sehingga sekarang dunia seakan tidak ada batas lagi, manusia dapat berhubungan satu-sama lain dengan begitu mudah dan cepatnya.

Komunikasi adalah sebuah proses interaksi untuk berhubungan dari satu pihak ke pihak lainnya, yang pada awalnya berlangsung sangat sederhana dimulai dengan sejumlah ide-ide yang abstrak atau pikiran dalam otak seseorang untuk mencari data atau menyampaikan informasi yang kemudian dikemas menjadi sebentuk pesan untuk kemudian disampaikan secara langsung maupun tidak langsung menggunakan bahasa berbentuk kode visual, kode suara, atau kode tulisan.

Tao () yang juga mengalami perkembanganNya pun tidak luput dari pengaruh kemajuan perkembangan informasi dan komunikasi yang ada. Harus diakui bahwa kemudahan dan kecepatan komunikasi yang ada sekarang ini memang sangat membantu dan mempermudah serta mendukung perkembangan dan kemajuan Tao yang ada sekarang ini.

Tetapi harus kita ingat juga bahwa Tao itu adalah hal yang sangat "luar biasa" dan mempunyai sifat keunikanNya yang Agung sehingga mungkin sudah bukan rahasia pula diantara kita semua bahwa Tao itu dianggap bukan sesuatu yang dapat dengan mudah "dimengerti" semua orang, apalagi untuk ditransfer dengan gampang dan cepatnya walaupun menggunakan alat semodern apapun.

Tao jika dipandang secara komplek maka akan lebih kompleks dari kemampuan kita melihatnya, akan tetapi Tao jika dipandang secara sederhana maka akan sangat sederhana melebihi kesederhanaan yang mampu kita bayangkan.

Oleh karena itu saya sangat tidak setuju dengan adanya pendapat bahwa Tao itu tidak dapat dikomunikasikan. Hanya saja memang untuk mengkomunikasikanNya itu bukanlah hal yang mudah juga.

Dalam mengkomunikasikan Tao (), mau tidak mau kita harus memiliki juga dasar-dasar kemampuan berkomunikasi yang memadai agar dapat berkomunikasi secara efektif dan efisien.


Berkomunikasi Secara Efektif dan Efisien

Begitu kompleksnya hal dan permasalahan yang lalu-lalang dalam lalulintas informasi yang ada sekarang ini, akhirnya menuntut adanya suatu cara-cara atau sistim berkomunikasi yang efektif dan efisien , demikian pula didalam Tao. Apalagi semua referensi dan sumber-sumber informasi Tao itu berasal dari bahasa Mandarin , sehingga memerlukan proses penterjemahan sehingga terkadang arti dan makna pengertian-pengertian yang ada tidak dapat ditransfer secara keseluruhan secara menyeluruh. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan berkomunikasi yang efektif dan efisien , yang membutuhkan kemampuan-kemampuan tambahan seperti : adanya kemampuan bahasa mandarin dan bahasa Indonesia yang memadai dan berimbang , pengertian Taonya, pengetahuan Taonya, perbendaharaan kata-katanya, dll.

Dengan adanya kemampuan tambahan tersebut dan disertai pengalaman serta teknik berkomunikasi yang baik, lancar dan sopan, maka diharapkan seorang Taoyu ( ) dapat mengkomunikasikan Tao pada yang lain secara efektif dan efisien yaitu dapat diserap oleh penerimanya dengan tepat dan benar serta padat dan singkat.



Rabu, 14 Mei 2008

KODE ETIK JURNALISTIK

Kode Etik Jurnalistik

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
 Independen adalah membuat suatu berita sesuai dengan suara hati nurani, tidak ada paksaan, baik dari pihak lain maupun perusahaan pers.
 Akurat adalah bisa dipercaya.
 Berimbang adalah semua pihak mendapat kesempatan setara.
 Tidak beritikad buruk adalah tidak ada niat untuk merugikan pihak lain secara sengaja.


Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara profesional :
a. Menunjukan identitas diri kepada nara sumber
b. Menghormati hak privasi
c. Tidak menyuap
d. Menghasilkan berita yang faktual dan jelas nara sumbernya
e. Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang nara sumber dan ditampilkan secara berimbang
f. Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara
g. Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri
h. Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik


Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran
 Menguji informasi adalah melakukan check and redcheck mengenai kebenaran informasi itu
 Berimbang adalah memberikan ruang dan waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional
 Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan.
 Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.


Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
 Bohong adalah sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
 Fitnah adalah tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk
 Sadis adalah kejam dan tidak mengenal belas kasihan
 Cabul adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
 Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.


Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
 Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak


Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
 Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang dipeoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
 Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.


Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi nara sumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai kesepakatan.
Penafsiran
 Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
 Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
 Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
 Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.


Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau deskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
 Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
 Deskriminasi adalah pembedaan perlakuan.


Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
 Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
 Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.


Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran
 Segera adalah tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
 Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.


Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak wajib dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
 Hak wajib adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
 Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitahukan pers, baik tentang dirinya maupun orang lain.
 Proporsional adalah setara dengan bagian serita yang perlu diperbaiki.

SISTEM PERS

Sistem Pers

A. ARTI PENTING PERS DALAM SISTEM KOMUNIKASI
Sistem pers adalah subsistem dari sistem komunikasi. Unsur yang paling penting dalam sistem pers adalah media massa. Media massa menjalankan fungsi untuk mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui atau menolak kebijakan pemerintah. Bahkan , dengan adanya media pula berbagai inovasi atau pembaruan bisa dilaksanakan oleh masyarakat.
Marshall Mc Luhan menyebutkannya sebagai the extension of man (media adalah ekstensi manusia). Media adalah perpanjangan dan perluasan dari kemampuan jasmani dan rohani manusia (F. Rachmadi, 1990). Keinginan, aspirasi, pendapat, sikap perasaan manusia bisa disebarluaskan melalui pers.
Wilbur Schramm (1973), tak bisa dipungkiri pula bagi masyarakat, pers bisa dianggap sebagai pengamat, forum, dan guru (watcher, forum dan teacher). Maksudnya adalah setiap hari pers memberikan laporan, ulasan mengenai kejadian, menyediakan tempat untuk masyarakat mengeluarkan pendapat secara tertulis dan turut mewariskan nilai-nilai ke masyarakat dari generasi ke generasi.
Pers memiliki dua sisi kedudukan, yaitu :
• Sebagai medium komunikasi yang tertua dibanding medium yang lain.
• Pers sebagai lembaga kemasyarakatan atau institusi sosial merupakan bagian integral dari masyarakat dan bukan merupakan unsur asing atau terpisah.

Arti penting pers di Indonesia adalah :
1. menjadi salah satu unsur sistem komunikasi.
Tidak bekerjanya unsur ini maka akan mempengaruhi kinerja sistem komunikasi. Pers menjadi perangkai bagian unsur sistem komunikasi dalam satu kebulatan utuh dan padu (wholism).
2. tujuan pers juga menjadi tujuan sistem komunikasi itu sendiri.
Jika sistem komunikasi mempunyai tujuan mengurangi ketidakpastian dalam pembuatan keputusan, maka melalui pers semua itu bisa diatasi.
3. pers adalah unsur pengolah data, peristiwa, ide atau gabungan ketiganya menjadi sebuah keluaran atau output ke dalam sistem komunikasi.
Berbagai informasi yang diolah lewat media menjadi hasil yang berguna bagi proses keluaran atau output sistem komunikasi.

B. SISTEM PERS INDONESIA
Fred Siebert, Wilbur Schramm, dan Theodore Peterson dalam bukunya Four Theories of The Press (1963) ada empat kelompok besar teori (sistem) pers, yaitu :
a) Sistem Pers Otoriter (authoritarian)
Sistem ini adalah sistem tertua, yang lahir sekitar abad 15-16 pada masa pemerintahan absolut. Pers pada sistem ini berfungsi sebagai penunjang negara atau kerajaan untuk memajukan rakyat. Pemerintah menguasai sekaligus mengawasi media. Berbagai kegiatan yang akan diberitakan dikontrol pemerintah karena kekuasaan raja sangat mutlak.

b) Sistem Pers Liberal (libertarian)
Sistem ini berkembang pada abad 17-18 sebagai akibat munculnya revolusi industri, dan adanya tuntutan kebebasan pemikiran di negara Barat yang sering disebut aufklarung (pencerahan). Esensi dasar sistem ini memandang manusia akan bisa mengembangkan pemikirannya secara bak jika diberi kebebasan.
Kebebasan adalah hal yang utama dalam mewujudkan esensi dasar itu, sedangkan kontrol pemerintah dipandang sebagai manifestasi “pemerkosan” kebebasan berpikir. Oleh karena itu, pers harus diberi tempat yang sebebas-bebasnya untuk membantu mencari kebenaran.

c) Sistem Pers Komunis (marxist)
Berkembang karena munculnya negara Uni Soviet yang berpaham komunis pada awal abad ke-20. Sistem ini dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx tentang perubahan sosial yang diawali oleh dialektika Hegel. Pers dalam sistem ini merupakan alat pemerintah atau partai dan menjadi bagian integral dari negara.

d) Sistem Pers Tanggung Jawab Sosial
Muncul di Amerika Serikat pada abad ke-20 sebagai protes terhadap kebebasan mutlak dari libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat. Dasar pemikiran ini adalah sebebas-bebasnya pers harus bisa bertanggung jawab kepada masyarakat tentang apa yang diaktualisasikan.

Dari uraian yang diatas, jika diamati Indonesia termasuk sistem pers tanggung jawab sosial. Aktualisasi pers pada akhirnya harus disesuaikan dengan etika dan moralitas masyarakat.

Kritikan terhadap empat teori diatas :
1. Lowenstein, dalam bukunya "Media, Messages, and Men" mengatakan bahwa empat teori pers itu tidak fleksibel dan tidak dapat diaplikasikan pada semua sistem pers. Kemudian ia menyarankan "pendekatan dua deretan bertingkat" (two tiered approach) yang mengidentifikasikan tipe kepemimpinan dan filsafat.
2. William Hachten, dalam karyanya "The World News Prism" mengajukan "five concept typology" yg berpegan pada ideologi authoritarian dan komunis serta kombinasi libertarian dan tanggung jawab sosial ke dalam konsep barat, dan menambah dua teori baru: "revolutionary dan developmental" (Merril, 1991:16-17).


Peranan Pers Daerah dalam Dinamika Pers Nasional
Masa pemerintahan Soeharto yang merupakan masa kediktatoran dalam segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dan termasuk pers didalamnya. Pada saat itu, pers Indonesia tidak mempunyai kemerdekaan dalam pemberian informasi khususnya pemberitaan mengenai pemerintahan. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, pada rezim Soeharto tersebut di buat Departemen Penerangan yang menjadi momok media cetak Indonesia karena sering mengintimidasi dengan ancaman pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Hal tersebut merupakan praktek umum di bawah rezim Orde Baru Soeharto, yang tertutup terhadap kritik dan tidak toleran terhadap perbedaan pandangan.
Namun akhirnya pasca tumbangnya Soeharto dan sistem pemerintahannya, pers di Indonesia mengalami masa liberalisasi. Pers tidak lagi mengalami kesulitan dalam pemberian informasi kepada khalayak Indonesia. Hanya saja saat ini meski pers Indonesia sudah tidak di jajah oleh pemerintah, namun di jajah oleh pihak-pihak pemegang saham atau pihak-pihak yang dapat mempengaruhi media itu sendiri. Adanya politik media yang terjadi di dalam lingkup pers baik nasional ataupun daerah, dapat menjadikan krisis pers seperti pada masa orde lama meski tidak serupa dan tidak kentara. Dengan era reformasi yang di pelopori oleh mahasiswa, terjaminlah kebebasan pers. Fungsi pers di Indonesia menjadi lebih optimal, meski terkadang tidak obyektif. Terjaminnya kebebasan pers, dewasa ini cenderung di salah gunakan oleh para praktisi media. Banyak kasus terjadi dengan mengatasnamakan kebebasan pers. Buntutnya, media yang tidak terlibat terkena damapaknya karena budaya Indonesia yang menganut asas ’stereotype’.
Peran pers dalam pembuatan opini publik juga sangat besar. Terlebih lagi bagi masyarakat dari kalangan yang kurang berpendidikan. Bagi kalangan ini, mereka menerima mentah-mentah apa yang mereka dengar atau yang mereka baca. Unsur ini terkadang di manfaatkan oleh para pelaku media. Menjadi suatu praktek umum di mana media massa di berbagai wilayah tak bisa beroperasi sebagai perusahaan yang sehat, tidak profesional, dan menunjukkan ketergantungan yang sangat besar pada dinamika yang terjadi dalam politik lokal (mulai dari soal langganan koran oleh kantor-kantor pemerintah, iklan ucapan selamat kepada pejabat, hingga berbagai bentuk suap lainnya). Dengan sedang ’in’ nya media massa dalam sistem kehidupan di Indonesia di tambah lagi dengan perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari sentralisasi menjadi desentralisasi, berpengaruh juga pada perkembangan media di daerah. Banyak orang mendirikan pers di berbagai tempat, namun tak sedikit pula yang akhirnya menutup penerbitannya karena berbagai persoalan.
Media daerah ini terpaksa terlibat permasalahan politik ekonomi media agar tetap hidup dan berkembang. Padahal khalayak yang berada di daerah sangat bergantung atau berpanutan pada media-media yang ada di daerahnya masing-masing. Untuk itulah di perlukan independensi media daerah untuk bisa memberikan keobjektifan berita pada khalayaknya.
Namun bukan hanya pada kasus itu saja yang dapat di lihat dari perkembangan media di daerah. Peran pers daerah juga sangat berpengaruh pada segala sistem kehidupan, terutama pada sistem politik dan sistem pemerintahan daerah. Salah satu faktor keberhasilan PILKADA adalah karena keterlibatan besar pers daerah.
Pers daerah yang mayoritas merupakan anak dari media nasional atau pun mempunyai kerjasama dengan media nasional, tak dapat di pungkiri sudah dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada pers nasional. Meski pers daerah tetap masih terkait dan tidak terlepas dari dinamika arus pers nasional, kemampuan pers daerah dalam memfungsikan peranannya sudah layak mendapatkan pengakuan. Pers daerah mampu berdiri sejalan dengan pers daerah untuk mengontrol sistem politik dan sistem pemerintahan Indonesia. Seyogyanya media daerah dan nasional mampu berperan dan menjalankan tugasnya dengan baik dan sesuai ciri mereka yang menganut keobjektifitasan dalam proses pemberitaan. Selain pers daerah di berikan hak dalam adanya kebebasan pers, pers daerah juga mempunyai tugas untuk mengontrol pemerintah daerah.

Pers Pancasila
Sesungguhnya istilah Pers Pancasila sudah dikemukakan oleh M.Wonohito, seorang wartawan senior kenamaan, jauh sebelum dicanangkan secara resmi oleh Dewan Pers dalam Sidang Pleno XXV di Surakarta pada tanggal 7-8 Desember 1984.
Alasan Wonohito untuk menampilkan apa yang ia sebutkan "Pancasila Press Theory", dapat disimak dari paparannya berikut ini.
"Sesungguhnya pers tidak dapat diangkat dari dan tidak dapat ditinjau lepas daripada struktur masyaraktnya. Membayangkan seakan-akan pers lepas dari sosiological context salah besar. Sama kelirunya apabila kita pura-pura tidak melihat adanya sociological determination, suratan sosiologis yang berlaku terhadap tiap-tiap lembaga kemasyarakatan. Oleh karena itu struktur sosial politik bersifat menentukan bagi corak, sepak terjang serta tujuan yang hendak dicapai oleh Pers. Dan karena struktur sospol dilandasi masyarakat, perspun berlandaskan atas dan mencerminkan falsafah masyarakat".
Dalam Pembahasannya tiu Wonohito menyinggung pula empat teori pers dari buku terkenal "Four Theories of the Press" yang ditulis oleh Fred S Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm, keempat teori pers itu menurutnya bolehlah kita tambahkan satu sistem lagi, yaitu Pancasila Press Theory, sebab falsafah Pancasila melahirkan teori pers sendiri, yang tidak termasuk dalam empat teorinya Siber, Peterson dan Schramm itu.
intisari keputusan sidang pleno xxv dewan pers mengenai pers pancasila itu, adalah sebagai berikut :
o Pers Indonesia
Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilan-nilai Pancasila dan UUD 1945.

o Pers Pembangunan
Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri.
o Hakikat Pers Pancasila
Hakikat Pers Pancasila adalah Pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyaluran aspirasi rakyat dan kontrol sosial konstruktif. Melalui hakikat dan funsi pers pancasila mengembangkan suasana sains percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggung jawab.

C. PERS dan SISTEM HUKUM
Antara pers dan sistem hukum ada keterkaitan yang erat sekali. Sistem hukum memberi peluang pers bertindak didalam rambu-rambu yang sudah disepakati sehingga pers berada pada titik ideal. Tanpa hukum, pers akan berkembang menjadi liberal.
Hukum dapat digunakan sebagai alat legitimasi pemerintah untuk mengawasi pers. Misalnya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Bahwa UU pokok Pers pernah mengatur dan menjamin kebebasan dalam menyiarkan pemberitaan, namun justru SIUPP (Permenpen No. 01/ Per/ Menpen 1984) menjadi alat membatasi kebebasan. Padahal, kedudukan SIUPP lebih rendah daripada undang-undang. Justru SIUPP yang dijadikan alat legitimasi.
Dalam perkembangannya penilaian atau interpretasi tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab berada di tangan pemerintah. Maka pasal ini dianggap “arogan” kerena pemerintah bisa secara sepihak membatalkan SIUPP.
Pada era Habibie, pemerintah menganggap SIUPP bukan zamannya lagi dan sangat “memperkosa HAM”. Sehingga SIUPP dicabut.
Masa eforia politik juga tidak menyelesaikan masalah itu. Hubungannya dengan pemberitaan berkembang menjadi trial by the press (pengadilan oleh pers). Trial by the press merupakan sebagai berita atau tulisan dengan gambar tertuduh dalam suatu perkara pidana yang memberi kesan bersalah. Hal ini melanggar asas praduga tak bersalah dan menyulitkan tertuduh untuk memperoleh pemeriksaan pengadilan yang bebas dan tidak berpihak.
Pada saat yang sama, muncul minimnya self censhorsip media. Dengan kata lain, media lemah dalam mempertimbangkan pakah pemberitaan itu layak dimunculkan dan sesuai dengan keinginan masyarakat atau tidak. Ini yang diakibatkan orientasi pasar media begitu dominan dan mengalahkan sisi idealnya.

D. FENOMENA KEBEBASAN PERS ORDE BARU
Pers menyandang atribut yang menyebabkan sering terpojok pada posisi yang dilematis. Disatu sisi tuntutan masyarakat mengharuskan memotret realitas sosial sehingga pers berfungsi sebagai alat kontrol. Namun pada posisi lain, sebagai institusi yang tidak lepas dari pemerintah, menyebabkan pes cenderung tidak vis a vis terhadap pemerintah. Ini artinya, pers mau tidak mau harus mematuhi mekanisme yang menjadi otoritas pemerintah. Inilah yang membuat pers binggung menentukan pilihan, antara kewajiban moral terhadap masyarakat dan keharusan untuk mematuhi aturan pemerintah sebagai konsekuensi logis.
Hal demikian tak ubahnya dengan mendikte pers yang telah kehilangan otonominya. Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga. Bagaimanapun juga pers masih punya otonomi, salah satu kemampuan untuk bertahan hidup ditengah derasnya iklim demokrasi dan himpitan struktur yang harus ditaati.
Peringatan pemerintah Orde Baru muncul karena kepedulian pes pada kepentingan masyarakat. Pers mendapat peringatan pemerintah sama saja dia mempunyai otonomi sendiri, sebab ia berani menentukan pilihannya untuk berpihak pada masyarakat.
Bagi masyarakat, pers berfungsi sebagai katarsis. Katarsis adalah kelegaan emosional setelah mengalami ketegangan dan pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis. Akan tetapi di lain pihak terbentur oleh ketidak mampuan untuk lepas dari keberadaan negara. Akibatnya berkembang teori : pers tunduk pada sistem pers, sistem pers tunduk pada sistem politik (Meril dan Lowentein dalm Harsono Suwardi, 1993).
Fakta pertama, fungsi pers sebagai katarsis adalah melalui mana masyarakat menyalurkan uneg-unegnya, ketidakpuasan,protes, dan keomentarnya terhadap suatu kejadian. Jadi ketika masyarakat menginginkan perubahan, pers harus berperan aktif. Namun, pada posisi lain pes harus bisa berperan dalam menyampaikan kebijaksanaan dan program pembangunan kepada masyarakat (F. Rachmadi, 1990).
Jadi pers sebagai katarsis maupun ketundukan pers pada sistem politik memaksa pers bersifat pasif dan kurang otonom. Karena dijadikan wahana tarik-menarik kepentingan antara masyarakat dan pemerintah tanpa pers sendiri diberikan otonomi untuk memilih kebijakan yang diinginkan.

KOMUNIKASI POLITIK DI INDONESIA

Komunikasi Politik di Indonesia

Di era Suharto, DPR sering dijuluki Tiga-D: Duduk, Dengar, Duit. Komunikasi yang berlaku di masa itu adalah komunikasi searah, yaitu komunikasi dari atas ke bawah (top-down). Presiden memberikan petunjuk dan pengarahan, langsung disetujui oleh DPR (yang selalu didominasi oleh Golkar) dan para menteri serta gubernur. Kemudian Gubernur memberi petunjuk dan pengarahan kepada DPRD tingkat I dan para Bupati, dan Bupati ke DPRD tingkat II dan para camat, dan begitu seterusnya sampai pada tingkat desa.

Untuk mengelola negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk yang meningkat terus dari hampir 200 juta, sampai sekarang sudah mencapai 210 juta, dan heterogenitas penduduk yang sangat luar biasa, sistem komunikasi politik searah ini sudah terbukti sangat efektif selama 32 tahun. Tetapi sistem komunikasi ini terbukti tidak bisa bertahan selamanya. Bersamaan dengan Krisis Moneter yang berkembang juga menjadi Krisis Politik, rezim Suharto pun tumbang, dan pola komunikasi langsung berubah arah: dari bawah ke atas (bottom-up).

Namun pola komunikasi bawah-atas ini, langsung terbukti sama tidak efektifnya. Bahkan lebih tidak efektif, karena jika semasa Suharto yang terasa adalah keluhan pihak-pihak yang frustrasi karena aspirasinya tidak tersalur (misalnya: kelompok PDI Mega, Petisi 50, mahasiswa dsb.), pada era pasca-Suharto, yang terjadi adalah anarkhi yang tidak habis-habisnya, sehingga dalam tempo singkat presiden RI berganti 4 kali. Masalahnya, dalam pola atas-bawah, maupun bawah-atas, sama-sama tidak terjadi dialog (komunikasi dua arah), yang terjadi hanya monolog (komunikasi searah).

Dari Monolog ke Dialog
Semangat dialog nampak sangat mencuat sejak reformasi. Salah satu jargon yang sangat sering diucapkan dalam menyikapi berbagai masalah adalah “duduk bersama”. Seakan-akan semua masalah, dari kasus tawuran antar agama di Ambon dan Maluku Utara, konflik antar etnik di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, sampai kasus DOM Aceh, Tanjung Priok dan Timor Timur, dapat diselesaikan asalkan semua pihak mau duduk bersama.

Tetapi fakta juga membuktikan bahwa duduk bersama saja tidak bisa menyelesaikan apa-apa, jika semuanya hanya mau bicara dan mau didengarkan. Padahal menurut ilmu psikologi, salah satu syarat paling utama untuk sebuah dialog adalah kemampuan untuk mendengar aktif. Mendengar aktif, artinya bukan hanya bisa mendengar (to hear), tetapi juga mencari makna dari balik apa yang didengar (to listen), bahkan orang yang mendengar aktif, mampu menduga hal-hal yang tidak terungkapkan dalam kata-kata maupun perbuatan. Buat seorang yang mendengar aktif, “diam” adalah juga jawaban yang mengandung makna. Karena itu tidak sulit diterka, bahwa untuk mendengar aktif, yang merupakan prasyarat dari komunikasi yang dialogis, diperlukan kesiapan mental tertentu, yaitu kesiapan untuk berbagi (sharing), melepaskan sebagian pendapat, bahkan haknya untuk bisa menerima pendapat atau hak orang lain. Sikap yang ngotot, mau menang sendiri dan merasa benar sendiri, jelas bukan hal yang kondusif untuk mendengar aktif.

Kesiapan Mental
Dari pengalaman selama ini, kiranya sulit untuk dibantah bahwa kesiapan mental untuk berdialog antara lembaga eksekutif dan legislatif di negara kita masih jauh dari kenyataan. Istilah yang digunakan pun adalah “hearing” oleh DPR, bukan “listening”. Demikian pula DPR (DPRD) “memanggil” pemerintah (pemerintah daerah), persis seperti polisi memanggil tersangka. Sedangkan tata letak kursi-meja di ruang-ruang sidang komisi adalah sedemikian rupa sehingga ketua dan para wakil ketua, disertai para anggota duduk berhadapan dengan pemerintah (atau pihak lain yang didengar), persis sama dengan para hakim dan panitera, menghadapi terdakwa dan para saksi. Pendek kata, dalam tata-tertib hubungan pemerintah dan DPR, yang ada adalah hubungan a-simetris (DPR lebih tinggi dari pemerintah), bukan hubungan simetris (sejajar).

Hubungan a-simetris tidak selalu berarti jelek. Di lingkungan militer, dan perusahaan-perusahaan berteknologi tinggi yang menuntut zero error (misalnya: anjungan penambangan minyak, pesawat terbang atau kapal laut), dialog tetap bisa terjadi, walaupun pola komunikasinya a-simetris (tentunya melalui prosedur yang baku dan diberlakukan dengan sangat ketat). Syaratnya hanya satu: kedua pihak (atasan maupun bawahan) sama-sama menyadari peran dan posisinya masing-masing.

Masalahnya, anggota-anggota DPR kita, tidak siap untuk menerima peran dan posisi setara dalam komunikasi dialogis dengan pemerintah. Walaupun selalu kita dengar ucapan para politisi itu tentang kemitraan dan kesetaraan Pemerintah-DPR, yang ada justru pola komunikasi yang a-simetris seperti yang sudah diutarakan di atas.

Bahkan lebih memprihatinkan lagi, para anggota DPR ini tidak hanya menganggap pemerintah sebagai pihak yang statusnya lebih rendah, melainkan juga sesama anggota DPR sendiri. Itulah sebabnya sebulan pertama, DPR tidak bisa mulai bekerja, karena dua fraksi besar dalam DPR saling berselisih dan salah satu fraksi memilih untuk tidak masuk kantor saja selama sebulan. Lebih hebat lagi, pada saat membahas tentang kenaikan harga BBM, para anggota DPR bukannya saling adu argumentasi dengan pemerintah, tetapi malah saling berkelahi di antara mereka sendiri.

Tidak Siap Jadi Elit
Yang menarik, sebagian dari anggota DPR itu, beberapa saat sebelum dilantik adalah anggota masyarakat biasa. Ada yang artis, LSM, dosen, kiai dsb. Sebagai anggota masyarakat biasa, banyak (walaupun tidak semua) yang mempunyai reputasi yang baik: tidak punya track-record yang jelek, berintegritas, punya komitmen yang tinggi, pandangan-pandangannya mewakili pendapat rakyat dan seterusnya. Tetapi justru semuanya berubah setelah beliau-beliau menjadi anggota badan legislatif. Di daerah pun gejalanya sama.

Di lingkungan pemerintah (pusat maupun daerah), ternyata gejalanya tidak jauh berbeda. Kasus KPU misalnya, kalau pelanggaran pidananya benar terbukti, menunjukkan kepada kita betapa orang-orang berintegritas tinggi, bisa berubah sikap begitu masuk ke jajaran elite. Demikian pula halnya dengan para kepala daerah dan pejabat-pejabat daerah (tingkat propinsi maupun kabupaten) yang dikenal sebagai orang yang berintegritas tinggi, namun disuruh turun oleh rakyat begitu mereka menduduki jabatannya. Di tingkat partai politik, hampir tidak ada orang yang bisa terpilih menjadi ketua umum, tanpa menuai protes dari kelompok pesaingnya. Dan sikap yang diambil oleh yang menang maupun yang kalah adalah sikap konfrontatif (adu otot), karena memang rata-rata orang Indonesia masih lebih mengandalkan otot ketimbang hati sanubari.

Kesimpulannya, nampaknya watak bangsa Indonesia hanya baik jika mereka menjadi rakyat jelata, namun segera berubah ketika mereka masuk ke tingkat elit. Dengan perkataan lain, sebagian terbesar masayarakat Indonesia hanya siap jadi rakyat, tetapi tidak siap untuk menjadi elit. Begitu menjadi elit (apa pun, tidak hanya anggota DPR dan Pemerintah) maka akan terjadi perubahan mental yang signifikan. Karena itulah orang Indonesia lebih disiplin kalau dipimpin atau dimanajeri oleh seorang “bule”, ketimbang oleh pribumi sendiri.

Upaya
Menurut para pakar, ada dua macam jalan keluar dari komunikasi yang macet ini. Sebagian pakar (seperti John Naisbit, penulis buku “Milenium ke-Tiga”, dan Tu Weiming, Guru Besar Sejarah Agama-agama dari Universitas Harvard) berpendapat bahwa proses chaos ini akan berakhir sendiri, karena hanya merupakan bagian dari proses evolusi teknologi komunikasi dan informasi yang berskala jauh lebih besar, yang pada satu titik akan mencapai keseimbangan (equilibrium) sendiri secara alamiah (nilai baru, norma baru, tatanan masyarakat baru dsb. yang lebih adil, lebih manusiawi dsb.). Tetapi kapan saat itu akan tiba? Tidak ada yang bisa memastikan.

Pendapat kedua adalah dengan intervensi yang sistimatis dan terprogram. Paradigma inilah yang ditawarkan Suharto dulu, tatkala ia akan lengser. Dia menyatakan akan menata dulu pemerintahan selama 6 bulan ke depan, dan setelah itu ia tidak akan mencalonkan diri lagi menjadi presiden. Namun rupanya tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh masyarakat yang sedang haus demokrasi. Pasalnya, memang intervensi atau social engineering menuntut pengorbanan, seperti: rakyat harus diatur dengan ketat, beberapa kebebasan ditarik dari masyarakat dsb. (seperti yang terjadi di Malaysia dan Singapura), padahal hal-hal yang harus dikorbankan itu, justru yang baru kita peroleh melalui reformasi dan pengorbanan jiwa. Maka terjadilah seperti yang kita alami sekarang.

Mana dari kedua strategi itu yang akan diikuti, kiranya akan sangat tergantung kepada kemampuan dan kemauan pemerintah, khususnya presiden dan wakilnya. Presiden dan wapres hasil Pemilu langsung sebenarnya mempunyai posisi yang sangat kuat dan tidak bisa begitu saja di dikte, apalagi di-impeach oleh DPR. Karena itu ia cukup punya legitimasi untuk menentukan pola permainan dan komunikasi politik yang akan berlaku. Kalau perlu dengan sedikit ketegasan. Gejolak pasti terjadi, tetapi tidak akan lama, karena kalau rakyat sudah melihat manfaatnya, maka protes akan berhenti dengan sendirinya (analoginya: Busway di DKI, awalnya sempat mengundang protes, tetapi sekarang hampir semua orang pernah menikmatinya, dan protes pun segera terhenti dengan sendirinya).

Namun kalau presiden masih tetap lebih suka mendengarkan dan mempertimbangkan suara-suara sumbang yang tidak habis-habisnya, termasuk dari golongan yang sudah jelas-jelas bersalah di mata hukum (seperti pedagang kaki lima, pengunjuk rasa yang membakar foto Presiden dsb.) demi demokrasi itu sendiri, maka memang kita tidak bisa mengharapkan banyak dari komunikasi-komunikasi antara DPR dan pemerintah di masa yang akan datang.

KOMUNIKATOR POLITIK

KOMUNIKATOR POLITIK

Salah satu ciri komunikasi adalah bahwa orang jarang dapat menghindari dari keturutsertaan. Hanya dihadiri dan perhitungan oleh seorang lain pun memiliki nilai pesan. Dalam arti yang paling umum, karena itu kita semua adalah komunikator politik. Begitu pula siapa pun yang dalam setting politik adalah komunikator politik. Proses opini komunikasi begitu serba mencakup sehingga setiap orang diantara kita sekurang-kurangnya memiliki potensi untuk menjadi komunikator politik.
Setiap orang boleh berkomunikasi tentang politik, kita mengakui bahwa relatif sedikit yang berbuat demikian, setidak-tidaknya yang melakukannya secara tetap dan sinambung. Mereka yang relatif sedikit ini hanya bertukar pesan politik. Mereka adalah pemimpin dalam proses opini. Para komunikator politik ini, dibandingkan dengan warga negara pada umumnya, ditanggapi dengan lebih bersungguh-sungguh bila mereka berbicara dan berbuat.

Mengidentifikasi Komunikator Utama dalam Politik
Sosiolog J. D. Halloran, seorang pengamat komunikasi massa yang cermat, telah mengeluh bahwa banyak studi komunikasi mengabaikan satu karakteristik proses yang penting, yaitu bahwa terjadi di dalam suatu matriks sosial. Siatuasi tempat komunikasi bermula, berkembang, dan berlangsung menerus adalah situasi sosial : hubungan antara komunikator dan khalayak adalah bagian integral dari sistem sosial ini. Meskipun anggapan ini sederhana, tulis Halloran, ketidakpekaan banyak ahli teori komunikasi telah mengakibatkan “ketidakseimbangan”; mereka mencurahkan jauh lebih banyak perhatian kepada penelitian akibat komunikasi ketimbang komunikator. Para perumus teori terlalu mudah mengabaikan “komunikator massa sebagai orang yang menduduki posisi penting yang peka didalam jaringan sosial, menanggapi berbagai tekanan dengan menolak dan memilih informasi yang semuanya terjadi di dalam sistem sosial yang bersangkutan”.
Komunikator politik memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses opini publik. Karl Popper mengemukakan bahwa ada satu teori opini publik yang seluruhnya dibangun disekitar komunikasi politik, yaitu “teori pelopor mengenai opini publik”. Ia menegaskan bahwa para pemimpin menciptakan opini publik karena mereka “berhasil membuat gagasan mula-mula ditolak, kemudian dipertimbangkan, dan akhirnya diterima”.
Popper menganggap teori pelopor ini terlalu berlebihan menaksir pengaruh “para aristokrat pikiran”. Teori ini terlalu sederhana sehingga runtuh dengan cepat.
Kategori komunikator politik, adalah :
1. Politikus sebagai komunikator politik
2. Profesional sebagai Komunikator Politik
3. Aktivitas sebagai Komunikator Politik

Tipe komunikator politik utama adalag sebagai berikut :
• Bertindak sebagai saluran organisasional
• Bertindak sebagai jaringan interpersonal

Kepemimpinan Politik
Kepemimpinan melibatkan proses kelompok, pengaruh kepribadian, semi meminta kerelaan, penggunaan pengaruh, persuasi, pencapaian tujuan, interaksi, peran-peran yang diperbedakan, dan pembentukan struktur dalam kelompok-kelompok.
Konsensus umum mengatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu hubungan diantara orang-orang didalam suatu kelompok yang didalamnya satu arah atau lebih orang (pemimpin) mempengaruhi yang lain (pengikut) di dalam setting tertentu.
Semua kepemimpinan dalam proses opini. Proses opini merupakan transaksi timbal balik dan sirkular diantara pemimpin dan pengikut.
Namun, harus ditekankan bahwa faktor-faktor yang membantu munculnya kepemimpinan adalah kepribadian pemimpin, masalah dan kebutuhan pengikut, struktur sosial dan sifat kelompok, dan unsur-unsur dalam situasi utu dan tidak mendefinisikan kepemimpinan.
Kepemimpinan timbul dari komunikasi, demikianlah kepemimpinan politik timbul dari penyusunan bersama, pertukaran modifikasi, dan kepercayaan, nilai, serta pengharapan bersama atas politik melalui komunikasi politik. Sebagai komunikator politik utama, politikus, profesional, dan aktivis mempunyai peluang untuk mempengaruhi opini publik. Sejauh pengaruh yang dimiliki mereka itu, mereka memainkan peran pemimpin politik.

Komunikator Politik sebagai Pemimpin Politik
Salah satu hal yang dilakukan pemimpin adalah menetapkan dan bekerja untuk mencapai prestasi atau tujuan kelompok, mengorganisasi agar pekerjaan dapat diselesaikan dan menetapkan standar prestasi bagi anggota kelompok. Kegiatan ini berorientasikan tugas. Perangkat kedua dari kegiatan kepemimpinan berorientasikan orang, sosial, atau emosi. Terdiri atas perhatian terhadap keinginan dan kebutuhan pengikut, penciptaan hubungan pribadi yang hangat, pengembangan rasa saling percaya, pengusahaan kerja sama, dan pencapaian solidaritas sosial.
Perbedaan ini menempatkan dua gaya komunikasi dalam kepemimpinan adalah orang yang bermotivasi tugas, berkomunikasi agar pekerjaan selesai dan yang bermotivasikan hubungan, untuk mencapai ikatan emosional diantara anggota kelompok.
Baik kepemimpinan tugas maupun kepemimpinan emosional pada hakikatnya tidak lebih unggul. Apakah tujuan kelompok, organisasi atau komunitas akan lebih baik bila dilayani oleh pemimpin yang berorientasi kerja atau berorientasi manusia, masalahnya sama saja, yaitu bergantung pada situasinya.

Pemimpin Organisasi dan Pemimpin Simbolik dalam Politik
Beberapa komunikator merupakan pemimpin karena posisi yang diduduki mereka didalam struktur social atau kelompok terorganisasi yang ditetapkan dengan jalas. Komunikator seperti ini kita sebut pemimpin organisasi. Komunikator politik yang merupakan pemimpin karena arti yang ditemukan orang didalam dirinya sebagai manusia, kepribadian, tokoh yang ternama, dan sebagainya, diberi nama pemimpin simbolik.
Sebagian besar dari peran kepemimpinan komunikator politik adalah terorganisasi, membawa implikasi yang penting. Memang, posisi komunikator didalam organisasi sangat menentukan kemungkinan dirasakannya seseorang sebagai pemimpin. Semakin penting posisis seseorang didalam jaringan komunikasi, semakin besar perbedaan formal antara posisi orang itu dengan posisi anggota lainnya dalam organisasi itu, maka lebih cenderung orang mengharapkan yang mendapat keuntungan itu mempengaruhi orang lain, dan dengan demikian ia menjadi pemimpin.
Teori kepemimpinan simbolik adalah kepemimpinan yang diturunkan dari makna, dan makna selalu tidak inheren. Jika seseorang membuat kesan yang benar, dan tidak menyangkalnya secara terang-terangan, ia dapat menjadi symbol hamper apa saja yang disukainya (atau yang disukai oleh nasipnya). Apakah komunikator politik itu menjadi pemimpin simbolik, sebagian bergantung pada kemampuannya memanfaatkan unsure-unsur dramatic didalam setting yang memberi peluang bagi kepemimpina simbolik. Pemimpin itu bisa mempertahankan ‘ kepemimpinan simboliknya’ malalui asal mula kemampuannya menangani, melalui tindakan yang dipublikasikan tentang kebijakan nonkontroversial atau tentang hal yang sepele, yang melalui pertunjukan drama yang menonjolkan sifat-sifat yang popular dikaitkan dengan kepemimpinan: kekuatan, pertanggung jawaban, keberanian, kesopanan, dan seterusnya.
Dalam satu hal kepemimpian organisasi bahkan memberikan pendorong bagi komunikator politik untuk menjadi pemimpin simbolik. Karena organisasi memolakan komunikasi, ia membatasi kebebasan bergerak dalam rantai komando, menbatasi informasi yang dipublikasikan, dan sebagainya. Untuk menerobos keluar dari organisasi kadang-kadang pemimpin mengambil sikap komunikasi yang memberikan status orang termasyhur dan menciptakan symbol sambutan yang meluas.
Kepemiminan simbolik menyoroti tindakan saling mempengaruhi yang penting diantara apa yang oleh para pengikut diharapkan menurutcitra mereka tentang pemimpin, yang kesan diusahakannya ditinggalkan pada para pengikut oleh pemimpin yang bercita-cita tinggi. Ini adalah satu unsure penting yanga lain dari peran komunikator sebagai pemimpin, yakni ikatan diantara pemimpin dan pengikut.

Ikatan Komunikasi Diantara Pemimpin dan Pengikut
Kepemimpinan dan kepengikutan adalah cara komplementer untuk meninjau suatu transakasi tunggal : kita tidak dapat membayangkan peminpin tanpa pengikut, begitu pula pengikut tanpa pemimpin.
Salisbury mendaftarkan 3 keuntungan utama yang diperoleh pengikut dari transaksi kepemimpinan-kepengikutan, yaitu:
 keuntungan meterial yang terdiri atas ganjaran berupa barang dan jasa.
 keuntungan solidaritas yang mencakup ganjaran social atau hanya bergabung dengan orang laindalam kegiatan bersama.
 keuntungan ekspresif

Citra Rakyat Tentang Komunikator Politik dan Pemimpin Politik
Yang dimaksud dengan citra seseorang hanyalah arti yang dimiliki seseorang bagi orang lain, suatu integrasi mental yang halus dari berbagai sifat yang diproyeksikan oleh orang itu dan yang dipersepsi dan diinterpretasikan rakyat menurut kepercayaan, nilai, dan pengharapan mereka. Lalu, apa citra tentang para politikus, professional, yang terpilih sebagai komunikator? Kebanyakan politikus mendapat kesulitan besar untuk bias dikenal, bahkan untuk mempunyai citra.
Seorang presiden terpilih tidak mempunyai masalah mengenai pengenalan nama. Sifat-sifat yang paling diharapkan dari seorang presiden ialah kejujuran, intelejensi, dan independensi, tetapi warga negara memiliki perasaan yang bertentangan tentang betapa banyak kekuasaan yang harus dimiliki oleh pemegang jabatan itu. Turunnya popularitas kepresidenan berasal dari petunjuk bahwa ia gagal dalam melaksanakan tugasnya, bahwa ia kekurangan keutuhan pribadi, intelejensi, dan indepedensi, karena rakyat menganggap presiden bertanggung jawab atas berita buruk, atau hanya karena rakyat pada waktu itu menjadi kecewa tanpa mempedulikan prestasi kepresidenan. Pada saat krisis internasional ibutuhkan oleh negara terdapat kecenderungan yang kuat bagi keyakinan terhadap presiden untuk bangkit, terutama jika ia terampil dalam kepemimpinan yang berorientasi emosi.
Jauh lebih sedikit informasi yang tersedia mengenai citra rakyat tentang para komunikor politik dalam badan legislative dan yudikatif. Devine meemukan bahwa warga Amerika lebih menyukai badan legidlatif ketimbang yang lebih berwenang dalam menentukan apa yang dibutuhkan oleh negara dalam masalah ekonomi dan anggaran serta dalam mengumumkan perang atau menggunakan pasukan-pasukan AS. Tampaknya hal ini adalah kerena warga negara melihat anggota kongres sebagai “mimbar” mereka, orang yang menemukan, mereflaksikan kebutuhan dan tuntutan mereka, bukan orang yang bertindak tak bergantung pada keinginan para pemilih.
Dalam suatu pemilihan, seorang pemberi suara mempersepsi sifat-sifat yang dikaitkan dengan peran politik calon, pengalaman, dan latar belakangnya, pengalaman dan kualifikasinya, catatan dan asosiasi dalam politik partisan, dan atribut lain yang bertalian dengan pelaksanaan pekerjaan yang berorientasi tugas. Dipihak lain, pemberi suara memikirkan gaya politik calon. Dimensi ini berisi atribut-atribut pribadi yang dipersepsi.
Berbagai survey menunjukan bahwa media yang paling sering digunakan untuk berita politik adalah televisi, Koran, radio, dan majalah, media yang paling dipercaya adalah televise, Koran majalah, dan radio. Citra publik tentang media yang paling banyak digunakan dan dipercaya, yakni televise dan pers.
Pada umumnya juru bicara dan pemuka pendapat bagi kepentingan yang terorganisasi memang mendapat penilaian yang baik dari publik yang luas kerena, sebagian organisasi mereka tidak mendapatkannya.
Semua kelas pemimpin politik dan lembaga-lembaga yang dipimpin oleh mereka sekarang mengalami apa yang oleh Kapp disebut ‘gangguan citra’. Setara dengan kemerosotan yang terjadi dalam keyakinan mereka, bukan pemimpin tidak lagi dengan sendirinya menganngap bahwa para pemimpin patut untuk dipercaya semata-mata karena mereka menuntut demikian, dan para komunikator menemukan menemukan bahewa semakin sulit memecahkan masalah yang tidak dapat dipecahkan, sejalan dengan mereka, belum lagi dalam pengendalian hari depan dan personifikasi yang interpersonal. Tak diragukan, ada beberapa sumber gangguan citra ini, diantaranya bias jadi bahwa orang mempersepsibahwa para pemimpin politikhanyalah terlalu mustahil memahami secara mendalam kesulitan mereka. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apa karakteristik social para pemimpin politik, terutama para komunikator politik itu.

Karakteristik Sosial Pemimpin Politik
Karakteristik social para pemimpin politik di Amerika cenderung memiliki status sosioekonomi yang lebih tinggi, pendapatan yang lebih tinggi, pemdidikan yang lebih baik, kebanyakan laki-laki, kebanyakan pengacara, dan mempunyai hubungan usaha dalam perusahaan besar atau biro hokum. Karakteristik social para komunikator professional hampir tidak bisa mewaliki populkasi umum ketimbang politikus.
Juru bicara yang terorganisir biasanya sangat berbeda karakteristik sosialnya dari warga Negara rata-rata. Meskipun tidak memiliki banyak kekayaan, tetapi tetap merupakan golongan yang khas dari masyarakat umum. Mereka mempunyai pendapatan dan status yang lebih tinggi, banyak yang mendapat gelar akademis dan mempunyai kedudukan sebagai manager.
Meskipun perbedaan ciri-ciri social diantara pemuka pendapat dan pengikut relative kecil dibandingkan denganperbedaan yang diamati diantara kelas-kelas lain komunkator politik utama. Studi yang sama, yang menemukan bahwa karakteristik social pemimpin politik berbeda dari populasi umum, juga menemukan bahwa mereka berbeda dalam segi-segi yang lain (tingkat keterlibatan politik, kepercayaan politik, nilai, dan pengharapan serta pengaruhnya terhadap pembuatan kebujakan).

Pemilihan Pemimpin Politik
Kenneth Prewitt menyamakan pemilihan pemimpin politik ini dengan teka-teki kotak China. Teka- teki itu terdiri atas beberapa kotak dari berbagai ukuran, yang kecil masuk ke ukuran yang lebih besar, begitu seterusnya. Dalam hal kepemimpinan, kotak yang terbesar berisi semua orang dalam populasi, yang terkecil pemimpin-pemimpin yang memerintah.
Pemilihan berlangsung dalam tahap-tahap sbb:
1) Memilih yang memenuhi syarat diantara populasi umum
2) Memilih yang mampu (available) atau orang-orang yang memiliki sumber daya yang diperlukan untuk melibatkan diri dalam politik.
3) Pemilihan partisipan politik.
4) Tahap memilih, dari kira-kira tiga per empat dari jumlah yang mampu.
5) Calon atau kandidat bagi jabatan daerah.
6) Tahap pemilihan.

Seorang pemimpin simbolik, kata Kapp muncul dari suatu proses yang memeiliki beberapa tahap, yaitu:
 Ada pertukaran “kerja sama” yang didalamnya seseorang “mempunyai inisiatif untuk memukul bola pertama, seperti dalam permainan tennis”.
 Setelah tindakan memulai, khalayak membalas isyarat (pukulan) kepada actor yang memberikan pandangan kepada pemimpin itu tentang citra rakyat, yaitu bagaimana ia tampak dimata mereka.
 “semua pukulan tidak dikembalikan”. Seleksi konseptusal dan fungsional adalah “rakyat hanya melihat apa yang menarik perhatian mereka dan hanya menanggapi citra yang ‘melakukan sesuatu’ kepada mereka.
 Aktor tidak dapat menerima atau menolak isyarat yang dikembalikan, tetapi ia tidak dapat melakukan pukulan dari posisi yang berbeda dengan posisi pada saat bola datang kepadanya, artinya ia tidak dapat memproyeksikan citra yang berbeda.
 Sekalipun ia tidak menyukai apa yang sedang terjadi, ia mungkin tidak dapat mencegah permainan berjalan kearah kearah yang tidak dipilihnya, dan dengan demikian, ia mengalami ‘gangguan citra’.

Ketidakpastian Dalam Peran Komunikator Politik Kontemporer
Beberapa orang sarjana dalam tahun-tahun terakhir ini bertambah khawatir bahwa para komunikator politik telah meninggalkan klien, pemilih, dan khalayak mereka disebabkan oleh kesetiaan kepada nilai-nilai impersonal dan professional. Secara konsisten riset telah mengidentifiasiprofesional dan atau amatir. Masalah yang ditemukan oleh para kritikus ialah bahwa komunikasi politik telah menjadi begitu professional sehingga para pemrakteknya melihat segala sesuatu hanya dari titik sempit keahlian khusus teknik mereka sendiri, dan telah mempunyai bintik buta yang tampak terhadap segala sesuatu yang berada diluar perspektif mereka sendiri.
Bidang masalah kedua timbul dari karakteristik para komunikator sendiri. Selain bagaimana profesionalnya dan bagaimana mewakilinya komunikator politik itu, ada ketidak pastian ketiga tentang peran mereka, yaitu motif-motif mereka. Tentu motif-motif itu temcampur. Dalam beberapa hal, mereka nertujuan, misalnya bermaksud mengubah kepercayaan, nilai, dan pengharapan rakyat dengan memberi informasi, membujuk, dan menghibur, dalam hal lain motif mereka tidak bertujuan, misalnya meneruskan pesan-pesan kepada rakyat tanpa maksud mempengaruhi.

ETIKA KOMUNIKASI



Hak untuk berkomunikasi di ruang publik merupakan hak yang paling mendasar. Jika hak itu tidak dijamin akan memberi kebebasan berpikir sehingga tidak mungkin bisa ada otonomi manusia. Hak untuk berkomunikasi di ruang publik ini idak bisa dilepaskan dari otonomi demokrasi yang didasarkan pada kebebasan untuk berekspresi (B. Libois, 2002: 19). Jadi, untuk menjamin otonomi demokrasi ini hanya mungkin apabila hak untuk berkomunikasi di publik dihormati. Etika komunikasi merupakan bagian dari upaya untuk menjamin otonomi demokrasi tersebut.
Etika komunikasi tidak hanya berhenti pada masalah prilaku aktor komunikasi (wartawan, editor, agen iklan, dan pengelola rumah produksi). Etika komunikasi berhubungan juga dengan praktek institusi, hukum, komunitas, struktur sosial, politik dan ekonomi.
Lebih dari itu, etika komunikasi selalu dihadapkan dengan berbagai masalah, yaitu antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab terhadap pelayanan publik itu. Etika komunikasi memilik tiga dimensi yang terkait satu dengan yang lain, yaitu
1. Aksi komunikasi
Aksi komunikasi yaitu dimensi yang langsung terkait dengan perilaku aktor komunikasi. Perilaku aktor komunikasi hanya menjadi salah satu dimensi etika komunikasi, yaitu bagian dari aksi komunikasi. Aspek etisnya ditunjukkan pada kehendak baik ini diungkapkan dalam etika profesi dengan maksud agar ada norma intern yang mengatur profesi. Aturan semacam ini terumus dalam deontologi jurnalisme.
Mudah sekali para aktor komunikasi mengalihkan tanggung jawab atau kesalahan mereka pada sistem ketika dituntut untuk mempertanggungjawabkan elaborasi informasi yang manipulatif, menyesatkan publik atau yang berbentuk pembodohan.

2. Sarana
Pada tingkat sarana ini, analisis yang kritis, pemihakan kepada yang lemah atau korban, dan berperan sebagai penengah diperlukan karena akses ke informasi tidak berimbang, serta karena besarnya godaan media ke manipulasi dan alienasi. Dalam masalah komunikasi, keterbukaan akses juga ditentukan oleh hubungan kekuasaan. Pengunaan kekuasaan dalam komunikasi tergantung pada penerapan fasilitas baik ekonomi, budaya, politik, atau teknologi (bdk. A. Giddens, 1993:129). Semakin banyak fasilitas yang dimiliki semakin besar akses informasi, semakin mampu mendominasi dan mempengaruhi perilaku pihak lain atau publik. Negara tidak bisa membiarkan persaingan kasar tanpa bisa membiarkan persaingan kasar tanpa penengah diantara para aktor komunikasi maupun pemegang saham. Pemberdayaan publik melalui asosiasi warga negara, class action, pembiayaan penelitian, pendidikan untuk pemirsa, pembaca atau pendengar agar semakin mandiri dan kritis menjadi bagian dari perjuangan etika komunikasi.

3. Tujuan
Dimensi tujuan menyangkut nilai demokrasi, terutama kebebasan untuk berekspresi, kebebasan pers, dan juga hak akan informasi yang benar. Dalam negara demokratis, para aktor komunikasi, peneliti, asosiasi warga negara, dan politisi harus mempunyai komitmen terhadap nilai kebebasan tersebut. Negara harus menjamin serta memfasilitasi terwujudnya nilai tersebut.


Menjamurnya Sarana Komunikasi
Menjamurnya sarana komunikasi, terbentuknya sistem media yang beragam dan kompetitif mempengaruhi media komunikasi politik. Sistem media komunikasi politik ini diwarnai oleh tiga hal: pertama, kelahiran berbagai bentuk jurnalistik. Kedua, teknologi ini memungkinkan tersedianya setiap saat berita baru melalui sistem penyebaran internet dan sumber informasi lainnya. Ketiga, sistem komunikasi, organisasi, dan aliran komunikasi massa tidak lagi didefenisikan oleh batas-batas negara. Teknologi satelit memperluas dan mempercepat penayangan kejadian ke seluruh penjuru dunia.
Tersedia informasi, semakin mudahnya akses, luasnya sumber informasi, mudahnya mekanisme pertukaran pendapat/informasi mengubah harapan masyarakat dan meningkatkan kesadaran kritis mereka. Semakin banyak pula saluran yang memberi banyak pilihan kepada masyarakat untuk mengikuti politik, tidak hanya pemerintah saja. Politik harus bersaing pula dengan proglam lainyang tidak kalah menariknya, seperti hiburan, olahraga, selebriti, dan mode.
Jurnalisme politik harus mampu bersaing untuk merebut hati para audiencenya. Karena semakin luasnya ranah jurnalisme, bentuk persaingan itu memacu semakin banyak pemain yang terlibat atau para pembuat berita dalam jurnalisme politik: narasumber, wartawan investigatif, tabloid, website, dan rakyat biasa.

Prinsip Pelayanan Publik
Betapapun prioritas pada orientasi keuntungan, suatu media masih tetap membutuhkan legitimasi yang hanya bisa didapat jika ada manfaat publik. Jika tidak sepenuhnya benar pernyataan yang mengatakan bahwa media di bawah kontrol pemerintah hanya melayani pemerintah dan media swasta hanya melayani kepentingan pemodal.
Pelayanan publik adalah semua kegiatan yang pemenuhannya harus dijamin, diatur, dan diawasi oleh pemerintah karena pemenuhannya diperlukan untuk pewujudan dan perkembangan saling ketergantungan sosial, dan pada hakikatnya, perwujudan sulit terlaksana tanpa campur tangan kekuatan pemerintah (B. Libois, 2002: 139).
Pelayanan publik dapat dimengerti sebagai pengambilalihan tanggung-jawab oleh kolektivitas atas sejumlah kekayaan, kegiatan atau pelayanan yang harus lepas dari logika kepemilikan pribadi atau swasta dan harus dihindarkan dari tujuan melulu mencari keuntungan.

Etika Komunikasi di Dalam Situasi Konflik
Orang sering menyembunyikan dan protes terhadap media massa tertentu karena dianggap memanipulasi berita. Para pemimpin redaksi dan wartawan dihadapkan dengan masalah pada situasi konflik. Mereka sering dituduh, disatu pihak, ikut mengobarkan kebencian dan konflik melalui media, di lain pihak, berkat wartawan. Orang mendapat informasi mengenai suatu kejadian.
Semua orang tahu peran media adalah mempunyai dan membentuk opini. Membentuk opini dalam situasi konflik perlu diterjemahkan dalam perannya meredakan ketegangan. Berita seharusnya mencerminkan peran juru bicara derita kemanusiaan. Maka, toleransi perlu diciptakan. Toleransi dalam situasi konflik harus lebih konkrit yaitu berpihak pada korban. Siapa pun korban itu kalau demi korban harus dibela.
Jika sudah amplop yang sudah berperan dalam pembusukan wartawan atau redaksi. Pada situasi seperti ini, integritas moral dan sikap kritis jajaran redaksi dan wartawan sedang di uji.
Salah satu kenyataan yang harus diperhitungkan adalah bahwa pers adalah perusahaan. Koran, majalah atau informasi audiovisual yang memiliki, di satu pihak, pemegang saham, dilain pihak, redaksi yang terdiri dari wartawan profesional. Cukup sering kepentingan utama pemegang saham tidak sesuai dengan deontologi yang mengatur profesi wartawan. Lebih-lebih kepentingan pemegang saham sangat beragam. Ada yang lebih menekankan keberhasilan ekonomi, ada yang memberi prioritas pada kepentingan politik, ada yang menekankan humanisme.
Ketegangan bisa mewarnai hubungan antara tim manajemen dan tim redaksi. Orientasi pasar makin memperparah ketegangan dan merugikan upaya untuk memberi prioritas pada kebenaran. Terjadi destabilisasi keseimbangan hubungan antara penguasa keuangan dan intelektual. Media yang berkelangsungannya dipertaruhkan dengan demikian akan mudah dikontrol. Media selain menghadapi konflik intern juga mneghadapi tekanan dari berbagai institusi dan organisasi yang merasa terancam dengan sikap kemandirian dan sikap kritisnya.
Sering kali opini sangat dipengaruhi oleh opini pembaca atau pemirsa, tidak hanya pemilik saham. Pandangan ini ditegaskan oleh James Curran dengan alasan : pertama, pemilik media perlu mempertahankan kepentingan pembaca agar tetap diminati; kedua, pemilik dan staf redaksi ingin mendapatkan legitimasi publik untuk menghindari sanksi masyarakat; ketiga, media sangat dipengaruhi oleh kepribadian profesional dari stagnya. Ketiga pertimbangan ini menunjukkan adanya kekuatan yang bisa melawan subordinasi media oleh komitmen politik dan kepentingan ekonomi pemegang saham.
Bisa dianggap naif bila melebih-lebihkan peran pembaca atau audience. Pembaca/pendengar/pemirsa cenderung reaktif dari pada proaktif. Mereka lebih memilih atau bereaksi terhadap apa yang ada di pasar atau yang disajikan dari pada berinisiatif mengusulkan sesuatu. Dan dari luasnya pilihan di pasar rill bisa diperkirakan sejauh mana kekuasaan konsumen itu efektif.
Selain itu, perlu diperhitungkan pula bahwa cek dan keseimbangan memang bisa diciptakan untuk melindungi media dari campur tangan negara karena budaya politik demokrasi akan sangat kritis bila pemerintah dirasa campur tangan membatasi kebebasan media. Namun, tidak demikian halnya kalau pembatasan itu datang dari pemilik saham lebih celaka lagi, para pembaca, pendengar atau pemirsa yang secara kolektif bersiteguh menginginkan pers yang bebas dan berani, justru sering menunjukkan sikap tidak toleran bila informasi atau analisis yang dipublikasikan menganggumereka entah secara individual atau kelompok. Mereka tidak puas hanya protes, cukup sering mereka datang dengan ancaman yang cukup serius. Pena menawarkan, pembaca menentukan. Kehendak untuk mengahalangi media guna menyatakan opini selalu menghadapi ancaman kekerasan. Banyak wartawan harus menghadapi terorisme intelektual dan terorisme fisik. Meskipun orang sering mendengar di antara wartawan terdapat juga yang melakukan pemerasan terhadap sumber berita.
Persoalam yang paling penting adalah menghadapi sumber berita kontraversial. Kontraversial dalam arti bahwa sumber berita sering terlibat dalam kasus kekerasan, dikaitkan secara langsung atau tidak dengan berbagai kerusuhan karena ideologi rasis atau fanatisme agama yang terang-terangan menafikan kelompok lain.
Dari kebutuhan akan sensasi, berita semacam itu memang layak jual di pasaran. Redaksi tentu sudah tahu bahwa pertama-tama bukan kolom opini atau editorial yang membentuk opini masyarakat, tetapi berita. Situasi ini menempatkan media dalam dilema: di satu pihak, memprioritaskan perjuangan melalui wacana.
Protes terhadap media bukan lagi hanya bahwa media telah memperlakukan dalam posisi sama antara pelaku kejahatan dan korban. Tetapi lebih dari itu, media tertentu telah memihak pelaku kekerasan. Dalam konteks ini, bisakah diberlakukan asas praduga tak bersalah sering menjadi awal viktimisasi kedua bagi korban. Kewajiban media dalam situasi konflik adalah sebagai saksi, dan lebih dari itu, media dituntut memihak pada korban. Dengan demikian, tidak mungkin media tidak mengambil sikap. Setidak-tidaknya memberi penjelasan terhadap wacana yang berkembang.
Berbicara etika komunikasi, perlu memperhitungkan bahwa media berjuang juga untuk bisa bertahan secara ekonomis dan sekaligus bisa tetap hidup sebagai pemberi informasi. Masyrakat kita sekarang adalah masyarakat komunikasi. Tidak ada kekuasaan baik politik, ekonomi, agama atau pendidikan yang bisa lepas dari strategi komunikasi. Komunikasi dipahami sebagai informasi yang diorganisir, informasi yang di kontrol, dan informasi yang diarahkan. Memberi informasi lebih dari sekedar berkomunikasi, tetapi mengurai, mengeksplisitkan, dan menyingkap. Dengan kata lain, harus berani mempertanyakan komunikasi yang menjadi dominan di masyarakat.

Analogi Ekonomi dan Etika
Masyarakat seharusnya mengekang diri dengan mengunakan hukum untuk membungkam kritik atau memberi sanksi kepada yang tidak menghendaki konfirmitas. Kebebasan individu untuk berekspresi, memilih gaya hidup dan konflik yang ditimbulkan merupakan dinamika perkembangan masyarakat. Masyarakat memperkuat dirinya dengan mengembangkan individu anggotanya (M. Tebbit, 2002:117). Maka, politik yang cenderung memihak negara atau partisipan kelompok masyarakat tertentu harus diubah menjadi politik yang berpihak kepada warga negara.
Prinsip demokratis, mayoritas yang menentukan, bila diberlakukan dalam hal etika perlu mempertimbangkan analogi Dworkin. Sama halnya mayoritas tidak boleh memonopoli semua sumber ekonomi hanya untuk kelompoknya dan membiarkan yang lain kelaparan, demikian pula mayoritas tidak dibenarkan mendominasi bidang etika sehingga kelompok minoritas sama sekali dicabut dari haknya untuk ikut menentukan lingkungan etika hidupnya (ibid., 124-125).
Televisi menjadi medium yang melahirkan masyarakat komunikatif yang kritis dan produktif. Masyarakat komunikatif yang dihidupi etika komunikasi, yakni cara berkomunikasi yang mempertimbangkan berbagai perspektif kesahihan norma. Yaitu kesahihan kebenaran dan kejujuran, kesahihan ketepatan ruang dan waktu, kesahihan norma dalam perspektif komprehensif. Sebutlah kesahihan etika komunikasi multikultur, etika jurnalistik, dan lainnya.
Ironisnya, industri penyiaran Indonesia selalu membela diri dengan dalih kehendak pasar yang diukur sistem rating sebagai pegas utama bisnis televisi dunia. Padahal, menjadi kenyataan, sistem rating dunia ditumbuhkan atas penghormatan terhadap etika komunikasi sebagai syarat utama perhitungan pasar yang dikelola dalam sistem rating. Artinya, sistem rating televisi Indonesia adalah pasar yang banal, jauh dari pasar demokrasi, hanya membela hak ekonomi tanpa melindungi konsumen.
Semua perbuatan perlu berpandukan kepada nilai-nilai murni yang dipanggil etika sebagai landasan yang menjamin perbuatan itu membuahkan hasil-hasil yang baik. Di dalam semua jenis komunikasi interpersonal, amalkan etikanya. Secara universal nilai-nilai itu ialah:
1. Bersikap Jujur
Apabila menceritakan perasaan, ceritakan dengan jujur apa sebenarnya perasaan yang dirasai. Kalau tersinggung, katakan tersinggung. Gunakan ayat “saya.” Katakan dengan jujur “Saya rasa tersinggung.” Jangan katakan tidak tersinggung. Kalau marah, katakan “Saya marah.” Kalau tidak mahu, katakan “Saya tidak mahu.”

2. Tidak Menuduh
Jangan menuduh dan mempersalahkan sesiapa. Jangan gunakan ayat “awak.” Jangan berkata “Kata-kata awak menyinggung perasaan saya.” Ayat-ayat seperti ini menuduh orang itu bersalah menyebabkannya berasa begitu ataupun begini. Ia akan menyebabkan hubungan menjadi tegang dan komunikasi menjadi negatif.

3. Nilai Bersama
Ada kalanya seseorang berada di tengah-tengah kelompok orang-orang yang mementingkan nilai-nilai bersama. Orang Melayu adalah contoh orang-orang yang mementingkan kepentingan dan tujuan bersama, dan tidak mementingkan tujuan peribadi. Dalam situasi seperti itu, janganlah bercakap kerana hendak memperjuangkan perasaan sendiri. Ikut sama-sama bercakap demi kepentingan semua orang ataupun, lebih baik diam sahaja.

4. Memberi Gambaran Tepat
Sampaikan maklumat dengan tepat. Jangan memberi maklumat palsu. Jangan berdusta. Jangan mengherot-perotkan maklumat. Jangan sengaja menghilangkan sebahagian daripada maklumat itu. Jangan beri gambaran yang salah.

5. Berkata Benar
Jangan sekali-kali mempunyai niat menipu dan memperdaya orang itu.

6. Mematuhi Etika
Jangan mengumpat dan jangan bergosip, apabila mendengar orang lain mengumpat, dengan lembut tegur orang itu, kalau tidak berani, tingglkan tempat itu ataupun jangan dengar.

7.Selaras
Kata-kata mesti sama dengan apa yang gerak-geri kita ucapkan. Apabila mulut kita berkata “ya,” jangan pula kepala menggeleng-geleng. Kalau mulut berkata “tak mahu,” jangan pula suakan tangan mengambilnya.

8. Tidak Menggangu
Jangan menyampuk dan memotong orang lain yang sedang bercakap. Biarkan dia bercakap sampai habis, baru ambil giliran. Apabila orang lain sedang bercakap berkenaan satu pekara, jangan pula menyebut perkara-perkara lain yang tidak ada kaitan dengan apa yang disebutnya. Jangan buat apa-apa yang mengganggu orang lain daripada bercakap dan mendengar dengan tenang.

9. Bersikap Positif
Jangan bercakap berkenaan perkara-perkara negatif. Jangan suka merungut dan mencari cacat-cela sebaliknya hendaklah sentiasa murah dengan penghargaan dan pengiktirafan.