Rabu, 14 Mei 2008

SISTEM PERS

Sistem Pers

A. ARTI PENTING PERS DALAM SISTEM KOMUNIKASI
Sistem pers adalah subsistem dari sistem komunikasi. Unsur yang paling penting dalam sistem pers adalah media massa. Media massa menjalankan fungsi untuk mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui atau menolak kebijakan pemerintah. Bahkan , dengan adanya media pula berbagai inovasi atau pembaruan bisa dilaksanakan oleh masyarakat.
Marshall Mc Luhan menyebutkannya sebagai the extension of man (media adalah ekstensi manusia). Media adalah perpanjangan dan perluasan dari kemampuan jasmani dan rohani manusia (F. Rachmadi, 1990). Keinginan, aspirasi, pendapat, sikap perasaan manusia bisa disebarluaskan melalui pers.
Wilbur Schramm (1973), tak bisa dipungkiri pula bagi masyarakat, pers bisa dianggap sebagai pengamat, forum, dan guru (watcher, forum dan teacher). Maksudnya adalah setiap hari pers memberikan laporan, ulasan mengenai kejadian, menyediakan tempat untuk masyarakat mengeluarkan pendapat secara tertulis dan turut mewariskan nilai-nilai ke masyarakat dari generasi ke generasi.
Pers memiliki dua sisi kedudukan, yaitu :
• Sebagai medium komunikasi yang tertua dibanding medium yang lain.
• Pers sebagai lembaga kemasyarakatan atau institusi sosial merupakan bagian integral dari masyarakat dan bukan merupakan unsur asing atau terpisah.

Arti penting pers di Indonesia adalah :
1. menjadi salah satu unsur sistem komunikasi.
Tidak bekerjanya unsur ini maka akan mempengaruhi kinerja sistem komunikasi. Pers menjadi perangkai bagian unsur sistem komunikasi dalam satu kebulatan utuh dan padu (wholism).
2. tujuan pers juga menjadi tujuan sistem komunikasi itu sendiri.
Jika sistem komunikasi mempunyai tujuan mengurangi ketidakpastian dalam pembuatan keputusan, maka melalui pers semua itu bisa diatasi.
3. pers adalah unsur pengolah data, peristiwa, ide atau gabungan ketiganya menjadi sebuah keluaran atau output ke dalam sistem komunikasi.
Berbagai informasi yang diolah lewat media menjadi hasil yang berguna bagi proses keluaran atau output sistem komunikasi.

B. SISTEM PERS INDONESIA
Fred Siebert, Wilbur Schramm, dan Theodore Peterson dalam bukunya Four Theories of The Press (1963) ada empat kelompok besar teori (sistem) pers, yaitu :
a) Sistem Pers Otoriter (authoritarian)
Sistem ini adalah sistem tertua, yang lahir sekitar abad 15-16 pada masa pemerintahan absolut. Pers pada sistem ini berfungsi sebagai penunjang negara atau kerajaan untuk memajukan rakyat. Pemerintah menguasai sekaligus mengawasi media. Berbagai kegiatan yang akan diberitakan dikontrol pemerintah karena kekuasaan raja sangat mutlak.

b) Sistem Pers Liberal (libertarian)
Sistem ini berkembang pada abad 17-18 sebagai akibat munculnya revolusi industri, dan adanya tuntutan kebebasan pemikiran di negara Barat yang sering disebut aufklarung (pencerahan). Esensi dasar sistem ini memandang manusia akan bisa mengembangkan pemikirannya secara bak jika diberi kebebasan.
Kebebasan adalah hal yang utama dalam mewujudkan esensi dasar itu, sedangkan kontrol pemerintah dipandang sebagai manifestasi “pemerkosan” kebebasan berpikir. Oleh karena itu, pers harus diberi tempat yang sebebas-bebasnya untuk membantu mencari kebenaran.

c) Sistem Pers Komunis (marxist)
Berkembang karena munculnya negara Uni Soviet yang berpaham komunis pada awal abad ke-20. Sistem ini dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx tentang perubahan sosial yang diawali oleh dialektika Hegel. Pers dalam sistem ini merupakan alat pemerintah atau partai dan menjadi bagian integral dari negara.

d) Sistem Pers Tanggung Jawab Sosial
Muncul di Amerika Serikat pada abad ke-20 sebagai protes terhadap kebebasan mutlak dari libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat. Dasar pemikiran ini adalah sebebas-bebasnya pers harus bisa bertanggung jawab kepada masyarakat tentang apa yang diaktualisasikan.

Dari uraian yang diatas, jika diamati Indonesia termasuk sistem pers tanggung jawab sosial. Aktualisasi pers pada akhirnya harus disesuaikan dengan etika dan moralitas masyarakat.

Kritikan terhadap empat teori diatas :
1. Lowenstein, dalam bukunya "Media, Messages, and Men" mengatakan bahwa empat teori pers itu tidak fleksibel dan tidak dapat diaplikasikan pada semua sistem pers. Kemudian ia menyarankan "pendekatan dua deretan bertingkat" (two tiered approach) yang mengidentifikasikan tipe kepemimpinan dan filsafat.
2. William Hachten, dalam karyanya "The World News Prism" mengajukan "five concept typology" yg berpegan pada ideologi authoritarian dan komunis serta kombinasi libertarian dan tanggung jawab sosial ke dalam konsep barat, dan menambah dua teori baru: "revolutionary dan developmental" (Merril, 1991:16-17).


Peranan Pers Daerah dalam Dinamika Pers Nasional
Masa pemerintahan Soeharto yang merupakan masa kediktatoran dalam segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dan termasuk pers didalamnya. Pada saat itu, pers Indonesia tidak mempunyai kemerdekaan dalam pemberian informasi khususnya pemberitaan mengenai pemerintahan. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, pada rezim Soeharto tersebut di buat Departemen Penerangan yang menjadi momok media cetak Indonesia karena sering mengintimidasi dengan ancaman pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Hal tersebut merupakan praktek umum di bawah rezim Orde Baru Soeharto, yang tertutup terhadap kritik dan tidak toleran terhadap perbedaan pandangan.
Namun akhirnya pasca tumbangnya Soeharto dan sistem pemerintahannya, pers di Indonesia mengalami masa liberalisasi. Pers tidak lagi mengalami kesulitan dalam pemberian informasi kepada khalayak Indonesia. Hanya saja saat ini meski pers Indonesia sudah tidak di jajah oleh pemerintah, namun di jajah oleh pihak-pihak pemegang saham atau pihak-pihak yang dapat mempengaruhi media itu sendiri. Adanya politik media yang terjadi di dalam lingkup pers baik nasional ataupun daerah, dapat menjadikan krisis pers seperti pada masa orde lama meski tidak serupa dan tidak kentara. Dengan era reformasi yang di pelopori oleh mahasiswa, terjaminlah kebebasan pers. Fungsi pers di Indonesia menjadi lebih optimal, meski terkadang tidak obyektif. Terjaminnya kebebasan pers, dewasa ini cenderung di salah gunakan oleh para praktisi media. Banyak kasus terjadi dengan mengatasnamakan kebebasan pers. Buntutnya, media yang tidak terlibat terkena damapaknya karena budaya Indonesia yang menganut asas ’stereotype’.
Peran pers dalam pembuatan opini publik juga sangat besar. Terlebih lagi bagi masyarakat dari kalangan yang kurang berpendidikan. Bagi kalangan ini, mereka menerima mentah-mentah apa yang mereka dengar atau yang mereka baca. Unsur ini terkadang di manfaatkan oleh para pelaku media. Menjadi suatu praktek umum di mana media massa di berbagai wilayah tak bisa beroperasi sebagai perusahaan yang sehat, tidak profesional, dan menunjukkan ketergantungan yang sangat besar pada dinamika yang terjadi dalam politik lokal (mulai dari soal langganan koran oleh kantor-kantor pemerintah, iklan ucapan selamat kepada pejabat, hingga berbagai bentuk suap lainnya). Dengan sedang ’in’ nya media massa dalam sistem kehidupan di Indonesia di tambah lagi dengan perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari sentralisasi menjadi desentralisasi, berpengaruh juga pada perkembangan media di daerah. Banyak orang mendirikan pers di berbagai tempat, namun tak sedikit pula yang akhirnya menutup penerbitannya karena berbagai persoalan.
Media daerah ini terpaksa terlibat permasalahan politik ekonomi media agar tetap hidup dan berkembang. Padahal khalayak yang berada di daerah sangat bergantung atau berpanutan pada media-media yang ada di daerahnya masing-masing. Untuk itulah di perlukan independensi media daerah untuk bisa memberikan keobjektifan berita pada khalayaknya.
Namun bukan hanya pada kasus itu saja yang dapat di lihat dari perkembangan media di daerah. Peran pers daerah juga sangat berpengaruh pada segala sistem kehidupan, terutama pada sistem politik dan sistem pemerintahan daerah. Salah satu faktor keberhasilan PILKADA adalah karena keterlibatan besar pers daerah.
Pers daerah yang mayoritas merupakan anak dari media nasional atau pun mempunyai kerjasama dengan media nasional, tak dapat di pungkiri sudah dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada pers nasional. Meski pers daerah tetap masih terkait dan tidak terlepas dari dinamika arus pers nasional, kemampuan pers daerah dalam memfungsikan peranannya sudah layak mendapatkan pengakuan. Pers daerah mampu berdiri sejalan dengan pers daerah untuk mengontrol sistem politik dan sistem pemerintahan Indonesia. Seyogyanya media daerah dan nasional mampu berperan dan menjalankan tugasnya dengan baik dan sesuai ciri mereka yang menganut keobjektifitasan dalam proses pemberitaan. Selain pers daerah di berikan hak dalam adanya kebebasan pers, pers daerah juga mempunyai tugas untuk mengontrol pemerintah daerah.

Pers Pancasila
Sesungguhnya istilah Pers Pancasila sudah dikemukakan oleh M.Wonohito, seorang wartawan senior kenamaan, jauh sebelum dicanangkan secara resmi oleh Dewan Pers dalam Sidang Pleno XXV di Surakarta pada tanggal 7-8 Desember 1984.
Alasan Wonohito untuk menampilkan apa yang ia sebutkan "Pancasila Press Theory", dapat disimak dari paparannya berikut ini.
"Sesungguhnya pers tidak dapat diangkat dari dan tidak dapat ditinjau lepas daripada struktur masyaraktnya. Membayangkan seakan-akan pers lepas dari sosiological context salah besar. Sama kelirunya apabila kita pura-pura tidak melihat adanya sociological determination, suratan sosiologis yang berlaku terhadap tiap-tiap lembaga kemasyarakatan. Oleh karena itu struktur sosial politik bersifat menentukan bagi corak, sepak terjang serta tujuan yang hendak dicapai oleh Pers. Dan karena struktur sospol dilandasi masyarakat, perspun berlandaskan atas dan mencerminkan falsafah masyarakat".
Dalam Pembahasannya tiu Wonohito menyinggung pula empat teori pers dari buku terkenal "Four Theories of the Press" yang ditulis oleh Fred S Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm, keempat teori pers itu menurutnya bolehlah kita tambahkan satu sistem lagi, yaitu Pancasila Press Theory, sebab falsafah Pancasila melahirkan teori pers sendiri, yang tidak termasuk dalam empat teorinya Siber, Peterson dan Schramm itu.
intisari keputusan sidang pleno xxv dewan pers mengenai pers pancasila itu, adalah sebagai berikut :
o Pers Indonesia
Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilan-nilai Pancasila dan UUD 1945.

o Pers Pembangunan
Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri.
o Hakikat Pers Pancasila
Hakikat Pers Pancasila adalah Pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyaluran aspirasi rakyat dan kontrol sosial konstruktif. Melalui hakikat dan funsi pers pancasila mengembangkan suasana sains percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggung jawab.

C. PERS dan SISTEM HUKUM
Antara pers dan sistem hukum ada keterkaitan yang erat sekali. Sistem hukum memberi peluang pers bertindak didalam rambu-rambu yang sudah disepakati sehingga pers berada pada titik ideal. Tanpa hukum, pers akan berkembang menjadi liberal.
Hukum dapat digunakan sebagai alat legitimasi pemerintah untuk mengawasi pers. Misalnya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Bahwa UU pokok Pers pernah mengatur dan menjamin kebebasan dalam menyiarkan pemberitaan, namun justru SIUPP (Permenpen No. 01/ Per/ Menpen 1984) menjadi alat membatasi kebebasan. Padahal, kedudukan SIUPP lebih rendah daripada undang-undang. Justru SIUPP yang dijadikan alat legitimasi.
Dalam perkembangannya penilaian atau interpretasi tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab berada di tangan pemerintah. Maka pasal ini dianggap “arogan” kerena pemerintah bisa secara sepihak membatalkan SIUPP.
Pada era Habibie, pemerintah menganggap SIUPP bukan zamannya lagi dan sangat “memperkosa HAM”. Sehingga SIUPP dicabut.
Masa eforia politik juga tidak menyelesaikan masalah itu. Hubungannya dengan pemberitaan berkembang menjadi trial by the press (pengadilan oleh pers). Trial by the press merupakan sebagai berita atau tulisan dengan gambar tertuduh dalam suatu perkara pidana yang memberi kesan bersalah. Hal ini melanggar asas praduga tak bersalah dan menyulitkan tertuduh untuk memperoleh pemeriksaan pengadilan yang bebas dan tidak berpihak.
Pada saat yang sama, muncul minimnya self censhorsip media. Dengan kata lain, media lemah dalam mempertimbangkan pakah pemberitaan itu layak dimunculkan dan sesuai dengan keinginan masyarakat atau tidak. Ini yang diakibatkan orientasi pasar media begitu dominan dan mengalahkan sisi idealnya.

D. FENOMENA KEBEBASAN PERS ORDE BARU
Pers menyandang atribut yang menyebabkan sering terpojok pada posisi yang dilematis. Disatu sisi tuntutan masyarakat mengharuskan memotret realitas sosial sehingga pers berfungsi sebagai alat kontrol. Namun pada posisi lain, sebagai institusi yang tidak lepas dari pemerintah, menyebabkan pes cenderung tidak vis a vis terhadap pemerintah. Ini artinya, pers mau tidak mau harus mematuhi mekanisme yang menjadi otoritas pemerintah. Inilah yang membuat pers binggung menentukan pilihan, antara kewajiban moral terhadap masyarakat dan keharusan untuk mematuhi aturan pemerintah sebagai konsekuensi logis.
Hal demikian tak ubahnya dengan mendikte pers yang telah kehilangan otonominya. Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga. Bagaimanapun juga pers masih punya otonomi, salah satu kemampuan untuk bertahan hidup ditengah derasnya iklim demokrasi dan himpitan struktur yang harus ditaati.
Peringatan pemerintah Orde Baru muncul karena kepedulian pes pada kepentingan masyarakat. Pers mendapat peringatan pemerintah sama saja dia mempunyai otonomi sendiri, sebab ia berani menentukan pilihannya untuk berpihak pada masyarakat.
Bagi masyarakat, pers berfungsi sebagai katarsis. Katarsis adalah kelegaan emosional setelah mengalami ketegangan dan pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis. Akan tetapi di lain pihak terbentur oleh ketidak mampuan untuk lepas dari keberadaan negara. Akibatnya berkembang teori : pers tunduk pada sistem pers, sistem pers tunduk pada sistem politik (Meril dan Lowentein dalm Harsono Suwardi, 1993).
Fakta pertama, fungsi pers sebagai katarsis adalah melalui mana masyarakat menyalurkan uneg-unegnya, ketidakpuasan,protes, dan keomentarnya terhadap suatu kejadian. Jadi ketika masyarakat menginginkan perubahan, pers harus berperan aktif. Namun, pada posisi lain pes harus bisa berperan dalam menyampaikan kebijaksanaan dan program pembangunan kepada masyarakat (F. Rachmadi, 1990).
Jadi pers sebagai katarsis maupun ketundukan pers pada sistem politik memaksa pers bersifat pasif dan kurang otonom. Karena dijadikan wahana tarik-menarik kepentingan antara masyarakat dan pemerintah tanpa pers sendiri diberikan otonomi untuk memilih kebijakan yang diinginkan.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

halah......
pas login, masuk ke setting
trus formating
tar disitu rubah ja
OK